Indonesia, sebuah
negara yang seharusnya memilih untuk mengabadikan diri menjadi negara maritim,
tetapi malah memilih menjadi negara agraris. Sebuah negara yang dimana aku
harus membangunnya dengan baik, meski aku bukan presiden.
Fisipku berbeda
dengan yang lain. Dimana mementingkan masyarakat dan negara. Bukan hanya sebuah
cara untuk membuat robot, bukan hanya sebuah cara untuk membuat obat. Melainkan
tanggung jawab yang diemban harus meliputi orang yang membuat semua itu.
Terlalu banyak
cerita buruk akan negara ini. Entah bagaimana jika aku membuatnya berubah dalam
kurun waktu singkat. Karena kata Pak Karno, Indonesia hanya butuh satu orang, bukan
seribu. Dan jika aku menjadi yang satu itu, aku bukanlah presiden mungkin
menterinya saja. Banyak orang tidak menyadari apa yang harusnya dilakukan
kepada pemerintah selain mencaci maki dan mencari setiap jengkal kesalahan yang
dilakukannya. Dimata warga negara, pemerintah hanya sebuah sampah yang tak
layak memerintah. Tapi ingat saja, mereka hanya mencaci. Mengapa begitu
bencinya warga negara terhadap pemerintah? Mungkin karena nama anggotanya yang
sudah kotor? Ataukah memang warga Indonesia ini memang dilahirkan untuk
mencaci? Disinilah awal permasalahan benang ruwet.
Fisip adalah
sebuah tempat belajar, belajar untuk hidup, bertahan, dan maju. Tapi juga untuk
gengsi, cari muka, cari nama, dan bergaya. Intinya Fisip itu portable. Tapi dibalik semua itu, adakah
sebuah rasa yang merupakan tanggung jawab kita sebagai anggota dari Fisip?
Ataukah hanya karena alasan di atas, kemudian kita melakoni pembelajaran ini
sebagai rutinitas belaka? Hanya Tuhan yang tau.
Tetapi aku sebagai
anggota Fisip tidak bisa hanya menggelar nama, seperti menggelar tikar. Tidak
bisa melakukan untuk rutinitas tanpa makna. Tidak bisa tanggung jawab dan kabur
begitu saja. Di sinilah semua itu akan dimulai, untuk membangun Indonesia.
Mungkin hanya beberapa yang dapat dilakukan saat ini, mungkin sesuatu yang
besar akan terjadi olehku di masa depan. Mungkin juga aku hanya menjadi seorang
yang hanya menggunakan titel untuk memperpanjang nama. Mencari cumlaude, mencari uang, mencari sesuatu
yang bisa dicari di sini. Satu diantara semua mahasiswa Fisip mungkin akan menjadi presiden, dan banyak diantaranya akan menjadi penghancur bangsa dan
negara. Tapi satu itu lebih dari cukup, mengingat negara yang seperti ini
adanya. Perubahan itu sulit dicapai. Tetapi di sini, itu semua dapat dilakukan,
untuk mengubah negara dan memakmurkan rakyatnya. Bukan hanya membuat yang kaya
semakin kaya, yang miskin semakin dimakan tanah, tapi untuk
membuat semua strata yang bisa merasakan hidup, bisa merasakan mati yang tidak
membuat kecewa.
Aku dan Fisipku
akan membuat sebuah gempa bumi yang hebat untuk negara ini. Mungkin bukan
sekarang, tapi beberapa tahun kedepan. Itu saja sebelum reformasi kedua
terjadi. Karena hidup itu susah pada awalnya, hidup itu adalah pilihan. Dimana
pilihan itu terkadang sebuah jalan yang akan menyesatkan. Ketika kau harapkan
sebuah sesuatu baik, tetapi yang ada adalah sesuatu yang buruk, maka kau
menyebutnya nasib buruk. Begitu sebaliknya kau akan menyebutnya nasib baik. Dan
ketika kau menerima apa adanya, maka kau sebut itu takdir. Ingatlah kita dulu
lahir sebagai pemenang, dan kita harus mati sebagai juara yang dikenang.
Tapi pada akhirnya kembali pada idealisme kita
masing-masing sebagai warga Fisip. Apakah ingin mensejahterakan negara ataukah
diri sendiri, jika bisa keduanya. Dan kembali sadar dengan nama Fisip yang
berada di tangan dihadapkan dengan peluang yang dimiliki setiap orang tidak
sama. Aku akan menempuh jalanku sendiri, kamu akan menempuh jalanmu sendiri,
dan kita akan sampai ke tujuan yang tidak melulu merupakan tujuan awal kita.
Sadar ataupun tidak sadar idealisme pasti tak selalu utuh, ada kalanya menipis
perlahan, bahkan menghilang. Hanya saja, bagaimana kita berusaha menjadi orang
terbaik diantara orang-orang baik lainnya.
Sekedar curhatan
anak Fisip 2011.
0 comment:
Posting Komentar
Kindly write your comment