Yogyakarta
telah lama dikenal sebagai provinsi yang penduduknya cukup maju dan
berpendidikan. Selain itu tidak sedikit aturan yang dibuat pemerintah demi
terciptanya slogan ‘Yogyakarta berhati nyaman’. Namun terkadang pemerintah
sering melupakan daerah terjepit yang ada di tengah kota sehingga pembangunan
seolah hanya berlangsung di dalam kota semata. Salah satu masalah yang hingga
kini masih menjadi plobelatika di Yogyakarta adalah pemukiman di Kali Code.
Kali
Code merupakan sungai yang membentang di tengah-tengah kota Yogyakarta dan
tepat dipinggirnya terdapat pemukiman penduduk yang cukup padat. Bertahun-tahun
lamanya penduduk sekitar Kali Code hidup dalam keadaan yang kumuh dan tidak
layak. Beberapa diantaranya bahkan dijadikan tempat mesum oleh masyarakat.
Sedangkan sampah yang ada dii sungai juga tidak terkendali banyaknya.
Akibatnya, tidak sedikit masyarakat terserang penyakit. Beberapa tahun lalu
pemerintah baru mulai memperbaiki daerah ini dan mengubahnya dari tempat
tinggal kumuh menjadi tempat tinggal layak huni. Namun hal itu sepertinya belum menjadi jawaban atas
masalah Kali Code. Masih banyak masyarakat yang hidup tidak layak dan serba
kesusahan. Kehidupan Kali Code ternyata bertambah parah seiring banyaknya
pendatang baru ke daerah tersebut. Penduduk asli Kali Code pertama kalinya
tidak bertempat tinggal di bibir sungai itu, tetapi masih berada di bagian
atasnya sehingga ketika banjir tidak serta merta mereka semua ludes diterjang
banjir. Namun yang terjadi setelah mulaubanyak pendatang yang tinggal di sana,
mereka cenderung turun ke daerah yang lebih dekat dengan bibir sungai. Padahal
dengan semakin dekatnya tempat tinggal mereka dengan sungai maka kebersihan
mereka pun akan terganggu. Air sungai akan menjadi sumber aktivitas mereka
sehari-hari sehingga dapat disimpulkan jika penggunaan air disana sangatlah berbahaya.
Masalah ini akan tetap berlangsung selama habitus dan budaya mereka sudah
nyaman untuk bertempat tinggal di Kali Code sehingga mereka enggan untuk pindah.
THESIS
Dr.Azrul Azwar, MPH (2000:4) mengatakan sanitasi
merupakan cara pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi
derajat kesehatan. Menurut WHC, sanitasi adalah pengendalian semua faktor
lingkungan fisik manusia yang dapat menimbulkan akibat buruk terhadap kehidupan
manusia, baik fisik maupun mental.
KONTEKSTUALISASI
TEORI
Pemerintah
Kota Yogyakarta pada dasarnya sangat peduli dengan kesehatan warga
masyarakatnya tidak terkecuali. Namun jika berkaca pada daerah pinggiran Kali
Code ini dapat dipastikan usaha pemerintah belum maksimal. Sanitasi yang buruk
menjadi salah satu alasan kuat bahwa pemerintah belum berusaha dengan maskimal.
Meskipun usaha menguatkan pinggiran sungai dengan bok agar mengurangi kerusakan
bagi masyarakat ketika banjir dan memangun WC umum telah dilakukan, kesehatan
masyarakat juga masih rentan. Jika dilihat lebih lanjut dapat dibandingkan saat
di kabupaten-kabupaten besar seperti Sleman, pemerintah kecamatannya telah
mencanangkan anggaran untuk jambanisasi per-rumah, namun sangat disayangkan
jika dipinggiran Kali Code ini pemerintah hanya mengadakan WC umum. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwasanya penduduk sekitar Kali Code masih terbebani oleh masalah sanitasi.
Dari
gambar diatas dapat dilihat bagaimana toilet seorang warga sudah rusak
dikarenakan banjir. Gambar ini diambil pada hari Rabu, tanggal 26 Januari 2012
pukul 13.30 siang. Pada saat itu masyarakat yang berada di timur Kali Code
dekat jembatan Sardjito sedang membangun sebuah WC umum. WC yang dibangun tersebut digunakan untuk satu RT yang
mana dekat sekali dengan bibir sungai. Sedangkan di pemukiman sendiri tidak
sedikit rumah warga yang keadaan WC’nya buruk, bahkan karena sering rusak
diterjang banjir, mereka kemudian menyerah untuk memperbaikinya.Pada waktu yang
sama terlihat beberapa warga sedang mandi di mata air dekat sungai yang keadaannya
juga terbuka. Yang menarik adalah, banyak sekali ditemukan ternak unggas milik
masyarakat yang tidak terawat dengan baik sehingga menimbulkan bau yang tidak
sedap. Rumah-rumah warga juga cenderung lembab dan sempit karena dekat dengan
pembuangan akhir bangunan-bangunan yang lebih tinggi dari pemukiman warga Kali
Code. Bahkan ketika penulis berjalan-jalan di sekitar daerah tersebut, tidak
jarang melewati tempat pembuangan air yang baunya sangat menusuk hidung
bercampur dengan bau dari unggas-unggas milik warga sekitar. Parahnya lagi,
keadaan tersebut juga ditambah dengan infrastruktur yang membahayakan anak-anak
disana, seperti pembatan sungai yang sudah banyak lepas, beberapa pinggiran
jalan yang bahkan tidak ada batasnya, terlebih dengan kondisi jalan yang becek
saat hujan. Permasalahan
tersebut sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat di
sana.
Beberapa warga yang penulis temui dan diwawancarai oleh
teman penulis mengatakan bahwa ketika banjir datang maka penduduk daerah itu akan
kesulitan. Mereka akan pindah sementara ke rumah yang berada di ketinggian yang
tidak tercapai banjir dan tidak jarang merelakan barang-barang mereka
dihanyutkan banjir. Untuk sanitasi di daerah tersebut memang mereka mengakui
kekurangan. Pemerintah sepertinya juga kurang memperhatikan keadaan sanitasi di
daerah tersebut karena dengan pembangunan WC umum maka pemerintah menganggapnya
cukup. Namun kesadaran mereka memang sudah baik dalam mengelola sampah sehingga
tidak ada lagi sampah yang dibuang di sungai. Hal lain yang masyarakat
ceritakan adalah para pendatang baru yang menggusur tempat tinggal mereka lebih
ke bawah lagi. Ketika ditanya mengapa mereka tidak pindah, maka jawabannya
adalah mereka berada dalam keterbatasan ekonomi. Tanah-yang mereka tinggali di Kali Code bahkan tidak
bersertifikat. Inilah yang membuat penulis berpikir bahwasanya kehidupan disini
belum menyentuh pembangunan berkelanjutan, tetapi masih berada dalam tahap
merangkak keberlanjutan.
Di sisi
yang lain, pemerintah sepertinya lebih memperhatikan keamanan sungai ini karena
dapat dilihat jika pembangunan yang dilakukan lebih bersifat infrastruktur
bangunan pinggir sungai. Bok-bok (pembatas sungai) disusun sedemikian rupa
sehingga ketika banjir datang maka air tidak menggerus bagian bawah rumah
warga. Pengadaan WC umum yang dilakukan pemerintah juga belum menyentuh
bagaimana keberadaan Wc tersebut juga membuat masalah kebersihan yang baru.
Penduduk yang menggunakan Wc bersama belum tentu dapat menjaga kebersihannya
sehingga rasa tanggung jawab untuk keberadaan WC tersebut juga masih dalam
pertanyaan. Yang kedua adalah pembangunan yang dilakukan pemerintah malah akan
menimbulkan kelas lagi ketika masyarakat asli dihadapkan dengan pendatang baru
yang mana tidak menjadi sorotan utama dari pemerintah sendiri. Mereka tidak
mempertimbangkan akan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang dalam tanda
petik mudah mengalah terhadap kehidupan baru yang menggeset tananan lama
mereka. Yang disayangkan adalah pendatang-pendatang tersebut juga tidak terlalu
peduli dengan kesehatan masyarakat yang tempat tinggalnya berada di bawah
mereka dengan membuang limbah rumah tangga mereka melewati rumah-rumah warga
yang di bawahnya.
Secara
garis besar masalah ini memang tidak hanya menimbulkan dampak pada fisik
masyarakat semata tetapi juga pada mental masyarakat. Masyarakat disana
cenderung diam terhadap perlakuan pemerintah dan pendatang baru sehingga
komunikasi yang seharusnya terjalin menjadi putus. Akibatnya adalah
kebutuhan-kebutuhan yang menjadi hak mereka sebagai wara masyarakat Yogyakarta
tidak diketahui kemana arahnya.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari kasus Kali Code ini dapat dikategorikan
menjadi 3 kesimpulan yaitu:
- Bantuan pemerintah masih berkutat pada pembangunan infrastruktur semata, tetapi belumberfokus pada fasilitas khususnya sanitasi yang diperlukan oleh masyarakat.
- Kesadaran masyarakat sendiri masih kurang untuk memperbaiki kehidupan dan tempat tinggal mereka karena dihadapkan dengan keterbatasan ekonomi.
- Pendatang baru di Kali Code tidak terlalu peduli dengan masyarakat asli Kali Code sehingga komunikasi antara keduanya tidak berjalan dengan baik.
Jika dihubungkan dengan
pembangunan di daerah itu maka terlihat bagaimana sebuah peradaban baru datang
menyingkirkan penduduk asli yang ada di suatu daerah. Penduduk asli yang ada
ternyata tidak semuanya dapat beradaptasi bahkan bereaksi terhadap kedaan yang
baru tersebut. Dapat dilihat bahwasanya
yang terjadi adalah penduduk asli memilih untuk mengalah dan berpindah
ke tempat tinggal yang lebih buruk dan membahayakan dari sebelumnya. Padahal
jika dihubungkan dengan teori pembangunan, sesungguhnya pembangunan tersebut
membawa perubahan kearah yang lebih baik, namun yang terlihat di sini adalah
sebaliknya. Pemerintah juga ternyata belum dapat memberikan yang terbaik bagi
pembangunan masyarakatnya.
Kedua, reaksi yang terjadi
daerah tersebut adalah masyarakat yang tidak peduli dengan kehidupan mereka.
Masyarakat cenderung melakukan semua hal seadanya, tanpa upaya menjaga pola
kehidupan yang lebih baik. Sepertinya keputusasaan menjadi alasan mereka untuk
berhenti berusaha.
Oleh karena itu untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan tanpa meninggalkan aspek budaya yang ada,
komunikasi antara pemerintah dan warganya harus tetap terjalin sempurna. Karena
tanpa adanya komunikasi yang baik maka akan ada salah satu pihak yang merasa
dirugikan. Sebenarnya pemerintah memang sudah baik dalam membangun daerahnya,
namun terkadang kehidupan yang terselip di sebuah kota sering terlupakan karena
sudah terbuai oleh kemajuan kota yang membanggakan.
REFERENSI
·
Soetomo. 2010. Masalah Sosial. Yogyakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar
·
Winardi. 1989. Pengantar tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung: Mandar
Maju
diakses pada 30 Desember 2012
0 comment:
Posting Komentar
Kindly write your comment